
Due to the enforcement of ACFTA the trade relations between Indonesia and China has grown re-markably, and has been in favor of China. In dealing with the China's Surplus, Indonesia has been improving export, while confining import for which the country has ratified the Law on Standard-ization and Conformity Assessment on late August 2014.
Sebenarnya, upaya menembus pasar China dan meningkatkan nilai ekspor Indonesia harus terus dipacu dan bilamana mungkin pemerintah Indonesia menuntut untuk diberi kemudahan untuk mengekspor barang ke China. Hal ini mengingat bahwa hubungan dagang Indonesia dalam 13 tahun terakhir China menjadi negara eksportir terbesar ke Indonesia dengan neraca perdagangan selalu mengalami surplus.
Selama 13 tahun tersebut perdagangan Indonesia-China telah berkembang pesat. Pada 2000, China berada di posisi ke-5 sebagai negara eksportir ke Indonesia senilai USD 2,02 miliar. Posisi China kemudian melesat ke peringkat pertama pada 2013 senilai USD29,85 miliar atau rata-rata pertumbuhannya tiap tahun sebesar 23%. Posisi China tersebut melampaui jepang yang sebelumnya menjadi pemasok utama barang impor ke Indonesia. Pada 2000, Jepang merupakan mitra dagang pertama Indonesia, namun pada 2013, posisi Jepang turun ke peringkat ke-3 dibawah China dan Singapura. Sebetulnya, nilai ekspor China ke Indonesia lebih besar dari jumlah tersebut. Pasalnya, banyak produk China di pasar domestik ternyata bukan hanya diimpor langsung dari Cina, melainkan juga banyak yang dimpor dari negara tetangga, khususnya Malaysia. Kareria tidak langsung, maka China tidak mengakui produk tersebut sebagai ekspor China ke Indonesia.
Meski menjadi pembeli terbesar produk Indonesia, China juga menjadi salah satu pemasok barang-barang terbanyak ke tanah air. Nilai imp or Indonesia dari Negeri Tirai Bambu ini rnencapai USD29,57 miliar, at au naik 2,1%. Porsi impor dari China tercatat mencapai 20,92% dari total impor Indonesia, atau sedikit lebih rendah dari gabungan negara-ncgara ASEAN yang mencapai 21,43%. Menguntit di belakang China adalah ]epang dengan nilai impor mencapai USDl9,05 miliar (13,48%). Sementara Amerika Serikat yang tengah mengalami krisis ekonomi, masih mampu membeli produk-produk Indonesia. Nilai ekspor ke Negeri Paman Sam ini mencapai USDl5,08 miliar at au 10,06% dari total ekspor Indonesia.
Menurut Atase Perdagangan Kedutaan Besar RI di Beijing Marolop Nainggolan, neraca perdagangan Indonesia dan China pada 2014 diperkirakan masih mengalami defisir. Dengan diberlakukannya UU Migas yang baru, maka nilai defisitnya akan semakin bertambah mengingat sebagian besar neraca perdagangan Indonesia-China masih didominasi sektor migas, kata Marolop kepada Kantor Berita Antara di Beijing baru-baru ini.
Melejitnya posisi China dalam perdagangan dengan Indonesia, dan ASEAN pada umumnya, adalah berkat gagasan China untuk membentuk pakta ACFTA. Pada 2000, perdagangan Indonesia masih mengalami surplus meskipun nilainya mengecil, yakni sebesar USD745,74 juta. Namun sejak pernberlakuan ACFTA posisinya terbalik, neraca perdagangan Indonesia-China selalu menghasilkan surplus untuk China.
ACFTA tampaknya menjadi kunci bagi China untuk memasuki kawasan ASEAN, term asuk Indonesia. Sejak itu produk jadi dari China membanjiri pasar domestik begitu hebatnya sehingga China menjadi salah satu penopang terbesar perdagangan Indonesia. Membanjirnya produk-produk China antara lain terjadi karena China melakukan praktek perdagangan tidak adil. Dari 190 jenis barang imp or dari Cina, 38 jenis dijual lebih murah di Indonesia dibanding di China.
Seharusnya, perjanjian perdagangan bebas diharapkan mampu menyejahterakan rakyat kedua negara. Namun, bukan itu yang terjadi. Membanjirnya produk luar negeri di pasar domestik, seperti barang rnurah dari China, secara tidak langsung menghancurkan produk dalam negeri.Seperti dilaporkan media, banyak pengrajin sepatu Cibaduyut, Bandung, banyak yang tutup karena kalah bersaing dengan produk China yang jauh lebih murah. Kehancuran industri lokal itu disebabkan pemerintah menerima secara mentah-mentah ACFTA meski industri manufaktur domestik masih lemah, Padahal, China ketika membuka pasarnya dengan mengusulkan ACFTA industri manufaktur sudah kuat.
Mungkin pada awalnya pemerintah In-donesia mengira bahwa China tidak akan segencar ini melakukan perdagangan bebas, dan mengira bahwa produk Indonesia akan laku terjual di negara 'Tirai Bambu' itu. Namun nyatanya sangat jauh berbeda. China ternyata dapat memproduksi beragam komoditi dengan harga murah. Bahkan China dapat memproduksi barang tersier tiruan seperti ponsel atau barang-barang lain yang harganya di pasaran sekirar 10 persen dari harga barang original. Selain itu, China juga pandai berstrategi untuk menyerang
"Hampir semua negara memanfaatkan standardisasi dan penilaian kesesuaian sebagai instrumen mengak-ses dan merebut pangsa pasar internasional sekaligus melindungi pasar domestik dari serbuan produk asing"
Para pelaku usaha hortikultura di Indonesia dengan menjual komoditi yang harganya jauh lebih murah daripada yang dijual oleh para petani di Tanah Air.
Hubungan dagang tersebut akan terus berkembang pada tahun-tahun mendatang mengingat potensi pertumbuhan ekonomi kedua negara. Bahkan ke depan, China diperkirakan akan menjadi Negara dengan perekonomian terbesar di dunia menggeser Amerika Serikat. Dan hal ini tidak lama lagi. Menurut pejabat Dana Moneter International (IMF), perekonomian China akan melampaui ekonomi Amerika Serikat pada 2016. Sedangkan perekonomian Indonesia akan terus bertumbuh.
Hanya saja, pemerintah Indonesia perlu melakukan terobosan ekspor agar defisit itu tidak semakin besar di tahun-tahun mendatang. "Indonesia bisa memperkuat ekspor produk pertanian, perkebunan dan perikanan serta turunannya untuk menyeimbangkan neraca perdagangan kedua Negara," tegas Marolop.
Selain dengan meningkatkan ekspor, upaya perbaikan neraca perdagangan juga dilakukan dengan menghambat impor. Dalam rangka menghadapi persaingan global itu, DPR RI telah menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Standardisasi dan Penilaian Kesesuaian (SPK) dalam rapat paripurna menjadi undang-undang pada akhir Agustus 2014. Harapannya UU ini bisa menjadi senjata bagi Indonesia dalam meningkatkan daya saing produk nasional serta meningkatkan perekonomian nasional.
Hal ini karena pertama, UU SPK melindungi konsumen Indonesia dan produk dalam negeri karena produk asing tidak akan dengan mudah masuk ke Indonesia. UU SPK diharapkan akan menjadi filter dan proteksi utama dari serbuan produk-produk impor yang bebas masuk ke pasar nasional pada 2015. Produk-produk impor yang tak bermutu dan tidak memenuhi standar nasional dilarang masuk. Pelaku Usaha yang mengimpor Barang dilarang memperdagangkan atau mengedarkan Barang yang tidak sesuai dengan standard. Hal yang saran berlaku pada produk Indonesia. Produk yang kurang bermutu menurut Negara lain tidak bisa masuk ke negara tersebut. Oleh karena itu, UU SPK juga akan menstimulasi pelaku UKM untuk menmgkatkan mutu produknya agar bisa bersaing di pasar bebas ini. Hampir semua negara memanfaatkan standardisasi dan penilaian kesesuaian sebagai instrument mengakses dan merebut pangsa pasar internasional sekaligus melindungi pasar domestik dari serbuan produk asing.
Sumber : Goodlife Magazine, Vol.42|2014
Download to pdf : [klik di sini]