
Mathias Thaib, CEO Alomet and Friends, sempat menyebut semakin besar suatu perusahaan, kian berat pula badai yang menerpa. Badai ini bukan sekedar beratnya kompetisi, melainkan ambisi cepat membesar sang pengusaha. Ambisi cepat membesar, sekalipun dengan menepikan dan akhirnya meninggalkan core business perusahaan.
Rumput halaman rumah tetangga sering lebih hijau dari milik kita. Besaran pasar yang dimiliki “rumah” lain, sering menggoda kita untuk melakukan pengembangan yang gegabah. Acap energi yang ditumpahkan untuk “bisnis sampingan” melebihi energi untuk memutar roda-roda core business. Bukan hanya terganggunya core business, potensi kekacauan blue print bisnis pun muncul.
Kesadaran biasa muncul, ketika “bisnis sampingan” sudah tidak semewah seperti yang dibayangkan. Sialnya, untuk kembali ke core business juga sulit. Karena seiring waktu, core competition para kompetitor pun kian meningkat.
Tidak Fokus Dan Gagal
Kesalahan ini pernah menimpa Netscape, pencipta salah satu browser internet pertama dan paling populer. Sampai sekitar 1995, browser Netscape telah menjadi standar resmi bagi komputer berbasis windows. Sayangnya, ketimbang memperkuat browser, Netscape malah terfokus pada penciptaan bahasa pemrograman yang sama sekali baru. Walhasil, ketika head to head dengan internet explore-nya microsoft, Netscape mulai keteteran. Selepas dibeli America Online (AOL), per 1 Maret 2008, Netscape benar-benar ditinggalkan.
Hal serupa terjadi pada Nokia. Sebelumnya, Nokia sempat mengumumkan rencana mem-PHK 10 ribu karyawannya. Pasar gadget dan smartphone Nokia memang habis dikoyak-koyak Apple yang kesohor akan penguasaan aspek software dan hardware. Bersama Samsung, Apple kini menguasai 75 % pangsa pasar smartphone global.
Uniknya, Nokia ternyata perusahaan multinasional yang gandrung berganti core business. Nokia adalah perusahaan pengolahan kayu yang kemudian masuk ke pembangkit listrik dan akhirnya menggeluti wajah industri telekomunikasi dunia. Bandingkan dengan Apple yang sejak didirikan Steve Jobs hingga sekarang masih berpijak pada core business yang sama –produk teknologi informasi.
Trend ini juga berkembang di Indonesia. Core business PT Barito Pacific Tbk beralih dari perkayuan ke petrokimia. PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), BUMN bidang sawit dan sapi, berencana merambah sektor properti. BUMN lain pun serupa. PT Pos Indonesia bersiap membangun mal, apartemen dan hotel. Demikian pula dengan Pertamina hendak kian mengembangkan bisnis apartemen, hotel dan pusat kuliner. Bandingkan dengan Eastman Kodak dan Ford Motor Company, yang malah menjual beragam bisnis yang tidak berelasi dengan core business-nya.
Tidak Haram, Tapi Makruh
Ibarat cerai, beralih core business bersifat makhruh. Tidak dilarang, tetapi sebaiknya jangan. Ada bahaya besar di dalamnya. Misalnya, seorang dokter spesialias kulit akan membuka klinik layanan perawatan kulit. Setelah bertahun-tahun praktik sang dokter pun semakin mahir dari segi keahlian dan proses bisnis kliniknya. Jaringan konsumennya tersebar luas. Loyalitas pelanggan muncul. Layanannya pun semakin unggul.
Kemudian muncul peluang bisnis baru, pijat akupuntur misalnya. Jika usaha ini dibangun pada rumah yang sama, otomatis proses perintisan usaha baru, ada sebaran energi yang harus dibagi. Apalagi jika si pemilik kemudian menilai usaha ini lebih berprospek ketimbang klinik perawatan kulitnya. Padahal, pijat akupuntur sesungguhnya bukan core competence si dokter.
Sehingga, kalaupun beralih core business harus dilakukan, maka lakukanlah dengan pertimbangan matang. Setidaknya ada dua pertimbangan yang dapat dipakai.
Pertama, perpindahan sebagai cara terakhir. Ketika kinerja perusahaan terus merosot akibat kegagalan kompetisi, dan sudah tak tampak lagi kemungkinan untuk bangkit, maka perpindahan core bisnis bisa menjadi pilihan.
Hal ini sesuai dengan adagium populer dari Jack Welch, “It has to be No.1 or No.2 in the market, otherwise it will be fix, sell, or closed.” Intinya peralihan core business hanya ketika perusahaan sudah tak mungkin lagi menjadi yang terbaik, atau setidaknya menjadi nomer 2, sehingga program-program strategis apapun hanya buang-buang waktu .
Kedua, perpindahan core business tetap pada core-competence. Perusahaan harus memiliki keunggulan tersendiri dari para pesaing dalam ceruk pasar baru itu. Ini sesuai pandangan Porter bahwa strategi agar perusahaan dapat berkelanjutan adalah dengan membangun keunikan. Jika tidak, perpindahan core business hanya menjadi batu kegagalan selanjutnya.
Download to pdf: [klik di sini]