Articles & News

MINDSET

Share :
17/12/2015 10:58:45 WIB | Dibaca: 478 kali |

Oleh : PM Susbandono

Kebanyakan genteng berwarna merah atau cokelat.  Kalau ada anak SD menggambar rumah dengan genteng berwarna hijau atau biru, itu suatu kekeliruan.  Nilainya harus dikurangi, tak peduli apakah lukisannya cukup artistik atau tidak.   Genteng sudah punya warna tertentu, dan murid tak boleh menggantinya dengan warna berbeda.  Itu disebut paradigma, yang biasanya ada di dalam otak sang guru.  Istilah  lain adalah mindset,  pola pikir atau cara pandang.

Dalam diri seseorang, tertumpuk bermacam-macam mindset.  Tentang berbagai  subyek, dengan nuansa yang berbeda.  Sering tertancap di alam bawah sadar dengan sangat melekat.  Kemudian muncul sikap bahkan perilaku yang mengharamkan perbedaan dari apa yang   tertancap di pikiran kita.  Paradigma mendominasi kehidupan seseorang, kadang sengaja, sering tidak. 

Kalau kebetulan yang tersimpan adalah paradigma positif, kemampuan diri mudah  dikembangkan.  Sebaliknya, ia  justru akan membunuh potensi positif yang sebetulnya banyak berserakan dalam diri  seseorang. 

Pengetahuan mengenai paradigma atau mindset ditemukan seorang ahli Psikologi dari Stanford University, bernama Carol Dweck.  Dia meneliti tentang aspek yang mempengaruhi seseorang untuk meraih pencapaian dan keberhasilan.  Sesuatu  yang mengukir perbedaan cara pandang.

Kecerdasan dan bakat dulu dianggap sesuatu yang ‘given’ dan tak bisa berubah atau berkembang.  Ia disebut sebagai ‘mindset  tetap’.  Itu dianggap sudah menjadi ciri seseorang yang, apa boleh buat, tak bisa diubah lagi.  Didi Nini Towok adalah penari yang dilahirkan. Buktinya, tanpa guru dan belajar yang nggenah, bisa menjadi penari terkenal dan melanglang buana  kemana-mana.   Karena Didi tak pernah mengenyam pendidikan formal dan jauh dari pengaruh luar, maka menari dianggap sebagai satu-satunya pemberian Tuhan yang begitu saja ada dalam dirinya. 

Orang mengira, karena Didi sangat berbakat, maka tanpa usaha dan kerja keras, dia bisa menjadi artis terkenal seperti saat ini.  Ini pendapat yang salah.  Didi banting tulang untuk mewujudkan bakatnya menjadi ‘sesuatu banget’.  Selain itu, bisa jadi Didi punya ‘harta’ lain yang bila diasah terus, akan menjadi berlian yang lain.  Siapa tahu, Didi  juga punya kecerdasan lain hingga mungkin saja menjadi ahli matematika atau olahragawan handal, sekaligus jagoan menari.  Sekali lagi, pemikiran seperti itu disebut sebagai fixed mindset

Orang yang menganut paham ‘growth mindset’,  berpendapat bahwa kepandaian dasar harus dikembangkan dengan dedikasi total dan usaha yang tak kenal lelah.  Percuma saja seseorang mempunyai bakat   kental, bila tak disertai usaha pengembangan yang terus menerus.  Dia akan frustasi dan akhirnya berpelukan dengan kegagalan.  Paham ini menggaris bawahi pentingnya cinta akan proses belajar dan sikap tahan banting, hingga melahirkan pencapaian yang luar biasa.  Tak terbantahkan, semua orang hebat dunia berada di kelompok ini.  Rudy hartono adalah salah satu contoh yang dekat dan nyata.

Mindset yang lain bisa mengakibatkan sesuatu yang luar biasa.  Cara yang dimiliki seseorang dalam menangkap dan memahami sesuatu yang terjadi di sekelilingnya, dengan kacamata hitam lagi buram.  Begitu hebatnya mindset  ini, maka ia bisa membuat celaka manusia yang memilikinya.   Tak heran jika kemudian disebut  deadly mindset.   Pola pikir yang negatif, biasanya kontra produktif, destruktif dan yang pasti, menghambat pelaku untuk berkembang menjadi lebih baik.  Disadari bahwa banyak deadly mindset yang sangat sulit untuk diubah.  Ia memerlukan tenaga yang sangat besar untuk melakukannya.

Ketakutan, ketidak yakinan, kurang PD, pesimisme , prasangka buruk, negative stigma atau negative thinking adalah deadly mindset yang jauh lebih menghambat kemajuan seseorang dibanding hanya sekedar kekurang-pintaran otak atau ketidak-lengkapan anggota tubuh.  Nick Vujicic, motivator kondang asal Australia, yang tak berlengan dan tak bertungkai, mengatakan : “Fear is a bigger disability than having no arms or legs”

Chris Langan, laki-laki tampan asal Amerika, yang mempunyai IQ = 195 dan di catat sebagai manusia dengan IQ tertinggi di dunia, ternyata hanya menjadi manusia yang biasa-biasa saja.  Kehebatan IQ-nya dikubur dalam-dalam oleh deadly mindset yang  terlanjur tertanam dalam otaknya karena dia berasal dari  broken home yang membawa sial dan akan terbawa hingga ke liang kubur.  Paradigma itu menyertai hidupnya, menjadi batu sandungan setiap kesempatan baik terbentang di depan batang hidungnya. 

Beberapa orang mengatakan bahwa Chris adalah manusia sial.  Sejatinya bukan itu.  Chris memendam mindset yang mematikan.    Deadly mindset memang harus diidentifikasi, bila ada di dalam diri kita, harus digeser pelan-pelan untuk selanjutnya dikeluarkan dari alam pikiran bawah atau atas sadar.

Shifting paradigm bukan sesuatu yang sederhana, meski bukan berarti tak bisa dilakukan.  Thomas Alva Edison jauh dari genius, tetapi berhasil membuat pergeseran paradigma dengan kemauan dan kerja kerasnya.  Dia bahkan sampai membuat dirinya seperti orang gila, dengan mengerami telur ayam, disertai  keingin tahuan apakah setiap jenis panas bisa membuat telur ayam menetas.  Akhirnya, Edison mencatatkan dirinya sebagai penemu terbesar dunia dengan lebih dari 3.000 penemuan brilyan, termasuk diantaranya bola lampu listrik.

Genteng tidak selalu merah.  Didi Nini Towok  tidak hanya penari luar biasa.  Chris Langan bukan orang sial, karena manusia tidak diciptakan untuk bernasib buruk.  Thomas Alva Edison yang tak pintar menjadi penemu terbesar dunia.  Semuanya membuktikan bahwa fixed mindset dan deadly mindset harus terus menerus diusahakan untuk dienyahkan.  Growth mindset harus dipupuk menjadi buah yang ranum dan siap dipetik.  Syaratnya hanya 2.  Pertama, perubahan paradigma tak mungkin terjadi tanpa usaha keras dari pemiliknya.  Kedua, pemilik paradigma harus  berani menjadi agen perubahan yang utama dan pertama.  Bila dirasa tak mampu, libatkan pihak ketiga untuk mendampinginya.

 

“Football is football and talent is talent. But the mindset of your team makes all the difference”. (Robert Griffin III – Atlet terkenal Amerika, usia 25 tahun)

 

Download to pdf: [klik di sini]

 


Kolom Facebook

Kolom Workshop Terbaru